Untukmu yang Teramat Kucintai

Bunga-bunga di teras sempit itu selalu menyambutku tiap aku pulang. Kecantikan ciptaan-Nya yang tumbuh melalui kasih di tanganmu. Bahkan saat tanaman yang sama di teras rumah lain layu, kering dan gugur, bunga-bungamu selalu bermekaran dan daun-daunnya terus tumbuh. Dan kau akan membuka pintu,menyambutku, mengusap lenganku penuh kerinduan dengan sebuah senyum yang sama indahnya dengan anggrek bulan kesayanganmu.

Kenapa waktu sepertinya berhenti menyisakan jejak di wajahmu?

Cahaya wajahmu tak pernah memudar. Tubuhmu, meski terkesan rapuh, nyatanya tetap kuat dan gesit. Kulit kuning langsatmu tetap halus bak remaja. Dan pahit getir kehidupan seolah terhapus oleh tawamu yang khas dan berderai. Hanya cara berjalanmu yang tak lagi tegap seperti dulu, diakibatkan sebuah kenangan yang selalu menusuk hatiku saat mengingatnya.

Aku tahu kau akan berkata semua bukan salahku. Tapi, tahukah kau? Air mataku selalu tetap menghujan karenanya.

Setelah kukecewakan hatimu dengan keputusanku pindah haluan ke kota lain, kau datang menengokku beberapa bulan kemudian. Aku, si manja kesayanganmu, yang tak pernah lepas darimu sejak lahir, tiba-tiba hidup sendirian di sebuah kota asing yang cukup jauh. Kau selalu khawatir, tentu saja. Dan di awal kepindahanku, telepon-teleponku padamu selalu dipenuhi rengekan seperti bayi. Akhirnya kau datang, membawakan semua kesukaanku.

Dan malam harinya, kau bilang ingin naik kereta ekonomi saja untuk pulang ke Bandung, karena harganya murah. Aku memprotesmu dengan keras. Selain tak nyaman, bukankah ada kakak ipar yang mengantar dengan mobil barunya? Tapi kau ingin langsung ke Bandung, sedang kakak ipar pulang ke Pekalongan.

“Ikutlah dulu ke Pekalongan, istirahat dulu sehari, baru besok dari sana naik travel biar nggak capek,” usulku didukung oleh kakak. Setelah bujukan demi bujukan, kau dan Papa menyerah. Dan aku bahkan masih ingat saranku pada kakak ipar untuk mengambil jalur Semarang karena jalannya lebih luas dan terang dibanding jalur Temanggung yang sempit dan berkelok-kelok membelah bukit.

Yang entah kenapa, kesepakatan itu dibelokkan oleh takdir .

Hampir sebulan kemudian aku tak sempat menghubungimu karena sibuk ujian. Ketika ujian selesai, aku menelepon nomor rumah, yang mengangkat adalah Aa. Aku menanyakanmu dan jawaban Aa sungguh aneh hingga aku mencium sesuatu yang tak beres.

Dan bagai petir di siang hari, Teteh akhirnya menjelaskan bahwa mobil yang membawa kalian saat itu ditabrak sebuah truk di Temanggung. Kau terluka parah dengan tulang-tulang remuk dan masih menjalani perawatan. Aku nyaris menjerit, ‘kenapa tak ada yang memberitahuku?’. Jawabnya, kau melarang semua orang untuk memberitahuku, dengan alasan tak ingin memecah konsentrasiku pada ujian. Ya, Tuhan!

Aku kemudian pulang dan menjumpaimu begitu rapuh dan sakit.

Lalu tragedi berikutnya terjadi.

Bak kecil untuk menampung air telah penuh hingga membanjiri lorong dapur sempit kita. Aku masih bersantai-santai dan berpikir menunda membersihkannya hingga Papa pulang dari mesjid. Rupanya kau tak tahan, mengambil sapu, dan tanpa sepengetahuanku terjatuh karena licin.

Tulang kakimu yang belum sembuh seolah dihantam dua kali.

Dan hingga kini kau tak bisa berjalan setegak dan secepat dulu.
Dan aku sering menyalahkan diriku karenanya.

Mama, entah sudah berapa Lebaran berlalu sejak kejadian demi kejadian itu. Dimulai dariku yang mogok makan karena ingin pindah kuliah, disusul peristiwa tabrakan karena ingin menengokku, lalu peristiwa jatuhmu karena kemalasanku, semuanya tak pernah membuatku bisa merasa menjadi anak yang baik. Seolah ada makhluk-makhluk tak kelihatan yang selalu menudingku bahwa aku anak buruk yang selalu menyusahkan, meski setiap tahun aku bersimpuh meminta maafmu.

Semua kini telah berlalu, aku tahu. Awan gelap dan kelabu yang biasa bercokol di keluarga kita perlahan mulai pergi dan kita semua semakin kuat dalam ikatan. Anak-anak yang selalu mendatangkan masalah itu kini telah mandiri dan menemukan jalan kebaikannya masing-masing. Semua karena pengorbananmu dan Papa, do’a-do’a di sepertiga malammu, rintihan tulusmu yang didengar-Nya. Dan keluarga kita tetap berdiri dengan penuh martabat meski tak punya apa-apa.

Mama, enam puluh tiga tahun sudah usia terbentang di hidupmu. Sejak kecil kau telah piatu dan kehilangan ayah tanpa sempat mereguk kasih sayang dengan sepuasnya. Mengikat janji dengan Papa di usia delapan belas dan hampir tak pernah mendapatkan kebahagiaan semestinya sebagai seorang menantu satu-satunya (untunglah Papa berpihak padamu). Semua cobaan itu membimbingmu menjadi seorang yang amat sabar, bijak dan terbuka.

Hingga sahabat-sahabatku pernah berkata mereka iri karena aku beruntung memilikimu.

Kau pernah menangis padaku bahwa kau takut hidup sendirian di masa tua, ‘diusir’ anak-anakmu ke Panti Jompo. Ya, Tuhan! Tidakkah kami pun akhirnya melihat kau selalu menelan penderitaan demi penderitaan sendiri agar tak menyusahkan suami dan anak-anakmu? Begitu banyak susah-sakitmu di masa lalu yang baru kami ketahui sekarang. Sungguh neraka lah bagi kami jika menyingkirkanmu demi kelegaan kami sendiri.

Tentunya tidak, Ma! Cukuplah sudah semua masalah yang kuakibatkan padamu. Dan insya Allah kami akan menjagamu hingga nanti.

Mama, tetaplah ceria seperti sekarang. Karena tawa itulah yang membuat usia lupa memberimu warna hingga kau terlihat sepuluh tahun lebih muda.

Selamat ulang tahun. Semoga hanya yang terbaik dari yang terbaik yang dilimpahkan-Nya selalu padamu. Amin.

Mama & Papa, Oktober 2008

30 thoughts on “Untukmu yang Teramat Kucintai

  1. senangnya yang masih punya Bapak Ibu, hehe, jujur Kutu ngiri lho ^^. met Milad y buat mereka. Btw, itu koq fotonya editan sih, mbok y dibawa dunk orangtuanya ke tempat yang indah biar bisa dipasang foto yang benerannya, hehe

    • Iiiihh… Kutu tau aja…
      Foto itu ‘terpaksa’ diedit, aslinya kami bertiga difoto di depan hotel 😀
      Bagian anak-kucrit-nya yang berdiri di tengah diilangin biar ga tambah ngetop, hahaha…

  2. CaLiWa says:

    Hehehehe, jadi teringat waktu si Mama nelpon aku pas gempa, bingung nanyain dirimu kenapa ga bs dihubungi, dan aku cuma bengong-bengong aja.

    Salam buat si Mama, bilang maaf waktu itu ga bs ngasih jawaban yang bisa menenangkan hatinya akan si buah hati yang sedang terdampar.

    • Aih, we, dalam keadaan gitu sih boro2 bisa ngobrol dengan baik dan benar 😀 yang ada panik, kaki gemeteran, ga tau kita masih diberi umur atau nggak… Alhamdulillah kita selamat ya…

Leave a reply to pelangiituaku Cancel reply